• About
  • Contact

Triyono, Sang Tak Kenal Patah Arah

 on Thursday 19 February 2015  

Adalah Triyono anak dari pasangan Ciptodiarjo  dan Trimo, Triyono lahir pada tahun 1972 di Klaten, Jawa Tengah.  Kini Triyono mempunyai istri bernama Rosdian yang berusia dua tahun lebih muda dari suaminya serta memiliki dua buah hati setelah enam tahun menikah, anak pertama bernama Taufik berusia 10 tahun duduk di kelas 4 SD disalah satu SD Bandung sedangkan anak ke dua bernama Virgiawan berusia lima tahun enam bulan dan duduk dibangku PAUD. 
  
Pengalaman pertamanya merantau ke kota kembang pada tahun 1995, ia pun bekerja sebagai sales marketing buku hingga 1998. Awal karirpun mulai meningkat dengan ia pindah kerja ke Restoran di Bandung.

Mulai tahun 1998 hingga tahun 2010 ia bekerja di Restoran, ia mulai start kerja sebagai Disc Wash  atau yang sering akrab ditelinga kita adalah pencuci piring. Tidak mudah untuk cepat naik jabatan dibidang masakan sekalipun ingin menjadi Cheff jika tidak mempunyai sertifikasi yang bergengsi memang semuanya harus dimulai dari bawah untuk dapat kepercayaan dari owner

Setelah sekian lama menjadi Disc Wash ahirnya dipercaya menjadi Rice Cook  yakni sebagai orang yang ditanggung jawabkan untuk memasak nasi. Perasaan senang yang Triyono rasakan meski hanya menjadi Rice Cook. Ahirnya Triyono bekerja dengan disiplin dan baik hingga setelah lama ahirnya owner pun mempercayakan untuk menjadi Cheker atau penanggung jawab bahan apa saja yang dibutuhkan atau bahan yang akan dimasak sekaligus sebagai pengontrol. 

Karir Triyono bisa dibilang cemerlang dan melesat meski tak semelesat meluncurnya roket ke udara, perlahan namun pasti. Tak lama Triyono berhasil melewati jabatan selanjutnya menjadi Assisten Cook, Cookhelper hingga menjadi Koki.

Dari beberapa pengalaman ia bekerja di Restoran menjadikannya kaya akan ilmu dan menguasai teknik memasak yang baik dan enak. Ahirnya pada tahun 2010 Triyono memutuskan untuk resign  dan memilih pulang kampung untuk membuka warung makan yang bekerja sama dengan Ibu Sri (50), kontrak kerja pun dibuat untuk disepakati, yang berbunyi : 30% untuk Triyono dan 70% untuk Ibu Sri dari keuntungan warung nasi tersebut, karena modal sepenuhnya dari Ibu Sri sedangkan Triyono sebagai pengelola saja. 

Namun uang makan selalu diberikan Ibu Sri setiap minggu Rp. 300.000,-
Tak disangka oleh Triyono ternyata hal demikian adalah menjadi pengalaman pertamanya rugi karena ia hanya dibayar setengah dari perjanjian saja. Ia pun kecewa padahal uang pemasukan menurutnya selalu untung lebih, Triyono memutuskan untuk keluar setelah enam bulan bekerja dengan Ibu Sri

Pengalaman Triyono menjadi Koki sudah dikenal dan tidak diragukan lagi, ahirnya Triyono dikenalkan oleh seorang temannya kepada Pak Tarman(51) yang Triyono sebut beliau sebagai salah satu Wakil Rektor salah satu Universitas di Klaten. Perjanjian pun sama Triyono buat kepada siapapun yaitu 30% untuknya dan 70% untuk owner. 

Triyono mengaku bekerja selama satu tahun namun ia kecewa karena perjanjian dirubah ketika warung nasi sudah mulai dikenal orang dengan alasan menambah tenaga pekerja. Bukan hanya itu cobaan bagi Triyono pun bertubi tubi hingga ia di fitnah oleh rekan kerja yang baru masuk, rekan kerja Triyono memfitnah dengan mengatakan bahwa Triyono tidak disiplin dan sering menutup toko semaunya padahal Triyono baru sekali menutup toko sebelum sore, itupun karena Triyono sakit.

Owner pun marah dan mengeluarkan Triyono, meski Triyono sudah menjelaskan bahwa itu hanyalah tuduhan bohong tapi tetap keputusan Pak Tarman mutlak dijatuhkan kepada Triyono.

Ahirnya setelah Triyono tidak bekerja selama beberapa bulan, Triyono bertemu dengan teman masa sekolahnya dahulu, Trimargono (35) lah namanya. Diajaknya Triyono untuk membuat rumah makan di Kalimantan sejak tahun 2012,  seperti biasa perjanjian selalu ia buat. Kali ini Triyono memberikan dua pilihan, yang pertama Francais maksudnya mengajari owner memasak dan berbagai resep selama 3 bulan dengan bayaran 40 juta rupiah atau sebagai pengelola dengan bayaran 7 juta perbulan bersih dari uang makan, rumah dan rokok. 

Tidak banyak neko neko Trimargono menyetujui yang pilihan ke dua.
Usaha rumah makan pun berjalan lancar dan ramai pengunjung serta menghasilkan keuntungan yang fantastis, setelah berjalan tujuh bulan istri Triyono yang bernama Rosdian (40) masuk rumah sakit disalah satu RSUD Klaten, kala itu Rosdian menderita keguguran dan pendarahan hebat hingga di Opname.  

 Hal ini menyebabkan Triyono untuk cuti kerja selama menemani istri tercinta di Rumah Sakit, sementara gaji Triyono selama tujuh bulan belum dibayar yang dikalkulasikan sekitar 40 juta rupiah. Selain Triyono mengalami kesulitan melihat istrinya yang dirawat ditambah lagi biaya Rumah Sakit dan keuangan tidak ada.

Triyono bukan tidak berusaha menagih, namun sulit di Klatenpun Triyono tidak ada uang apalagi untuk berangkat ke Kalimantan yang kala itu ongkosnya ia pandang mahal sekali lebih baik dipakai untuk biaya hidup sehari hari. Triyono hanya bisa mengadukan kepada orang tua Trimargono, namun orang  tuanya pun tidak mau tanggung jawab.

Triyono sempat merasa bingung bagaimana menghadapi kebutuhan rumah tangganya, memang kala itu tidak memakai hitam diatas putih karena pihak kedua tidak mau menggunakan surat perjanjian.

Triyono keliling mencari kerja di Klaten, “pak ada lowongan kerja? Apa aja pak yang penting saya bekerja” ujar Triyono kepada setiap toko yang menjajar di Klaten. Ahirnya setelah lama mencari kerja Triyono mendapatkan kerja di meubel sebagai orang yang mengangkat barang atau pengantar barang ketika ada pembeli, meski pekerjaannya berat dan melelahkan Triyono hanya mendapat upah Rp. 300.000,- perbulan, cukup untuk makan sehari hari.

Setelah dua bulan bekerja di tempat meubel ahirnya Triyono memutuskan untuk berhenti dan pergi ke Bandung bersama istrinya untuk bekerja disalah satu konfeksi yang ada di Padjajaran, gaji yang didapat lebih besar dari kerja di meubel dan lebih ringan meski hanya Rp.900.000,- perbulanya. 

Sempat menangis dan menyesal karena dahulu ia pernah diatas awan, untuk upah tiga juta sangat mudah ia dapatkan tapi sekarang begitu sulit sekali karena sekarang ia menjadi pekerja yang benar benar disebut pekerja atau buruh.

Awal tahun 2013 Triyono bekerja di pasar BTM sebagai juru masak, meski trauma dengan profesi masaknya, Triyono tetap mencobanya selama enam bulan dengan upah 1,2 juta, lumayan ada sedikit uang untuk ditabung. Sementara di Bandung Triyono tinggal bersama mertuanya di Cicadas, bukan hal yang indah tiggal bersama mertua. Kadang merasa malu dan lebih menahan lapar dari pada makan tapi bukan hasil sendiri. 

Uang yang ia tabung rencananya untuk mengontrak rumah atau hanya sebuah kamar sebagai tempat istirahat anak istrinya dan sebagi tempat perlindungan hujan panas.

Awal tahun 2014 Triyono beralih profesi menjadi pedagang es Pisang Ijo, upahnya pun lumayan sekitar 1,8 juta perbulan. Selain itu jam kerja yang tidak terlalu lama membuat Triyono memutar otak untuk mencari kerja tambahan, es Pisang Ijo buka pukul 10.00 sampai 12.00 wib, selebihnya Triyono merubah menjadi tukang sales pupuk yang mengirim dan memasarkan pupuk ke toko langganannya.

Setelah empat bulan bekerja dua profesi dalam satu waktu Triyono mengalami kecelakaan ketika mengantar pupuk yang mengakibatkan tangan kanannya patah. Kejadiannya bermula dari kemacetan, Triyono tertabrak dari belakang yang mengakibatkan Triyono menabrak motor depannya. Ahirnya orang yang tertabrak Triyono marah dan Triyono menjelaskan bahwa dia ditabrak dari belakang. 

Namun orang yang dibelakang Triyono tidak terima dan mengejar Triyono, kejar kejaranpun tak terhindarkan dengan  sengaja Triyono ditendang dari motor hingga tersungkur dan menabrak tiang listrik yang menyebabkan tangan kiri Triyono patah. Akibatnya Triyono tidak bisa bekerja selama empat bulan. Motor satu satunya pun ia jual untuk biaya pengobatan.

Menyikapi hal tersebut sang istri mencoba membuka warung kecil jajanan anak anak, apalagi untuk bekal menghadapi bulan Ramadhan. Tak disangka rezeki turun dari mana saja dan dari warung kecil kecilan itulah dapat membantu pemasukan selama suaminya tidak bekerja. Ketaatan sang istri terhadap suaminya tidak menyurutkan kasih sayangnya bahkan terfikir untuk meninggalkannya. 

Rosdian memang istri yang baik, kata Triyono sang suami, senang susah istrinya selalu ada disampingnya dan seolah menjadi penyemangat hidup dan bangkit dari semua masalah.
Sampai tiba saatnya lebaran Idul Fitri, Triyono di ajak bekerja di toko Agam Tuo milik Yudi (35) sebagai orang yang membantunya karena kesibukan yang dialami Yudi ketika setelah Lebaran membuatnya kewalahan karena kebetulan pekerja nya resign kala itu. 

Meski tangan Triyono yang bisa digunakan hanya satu, Yudi tidak mempermasalahkannya yang penting membantunya sebisa yang ia bantu. Sampai saat ini Triyono bekerja di Agam Tuo toko bumbu masak dengan upah Rp. 30.000 per hari. Triyono mengucap syukur masih ada yang mempercayainya untuk bekerja meski dengan keadaan yang kurang sempurna. 

Dan sekarang luka Triyono berangsur membaik dan sudah mulai bisa digerakan meski belum kuat mengangkat barang berat.

Triyono merupakan sosok yang tidak kenal lelah meskipun cobaan terus menertanya, lebih dari tiga kali jatuh bangun ketika merintis usahanya sebagai cheff disalah satu restoran, meski kini Triyono menjadi pedagang bumbu racik di pasar BTM Bandung. Hal yang menarik dari jiwa Triyono memanglah bukan keberhasilan atau kekayaan namun kegigihannyalah yang patut diacungkan jempol. 

Beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun bahkan terlintas dalam benaknya untuk mengahiri hidupnya, inilah salah satu golongan manusia unggul.

Di Jepang angka kematian yang diakibatkan bunuh diri sangat tinggi, hingga pemerintah Jepang memberikan fasilitas untuk warganya yang ingin bunuh diri. Melihat sosok pak Triyono seharusnya mereka malu dan hormat terhadap sosok Triyono, ujian setiap manusia selalu ada solusinya meski lama karena apapun alasannya bunuh diri bukanlah solusi terbaik bahkan bukan suatu pilihan yang layak untuk menjadi kategori sebuah  pilihan.

Triyono hanya berpesan bahwa jangan terlalu mudah percaya ketika diajak untuk bisnis dan selalu gunakan hitam diatas putih meski mereka kerap bilang tidak perlu. Bukan hanya itu Triyono pun mengatakan bahwa terima saja setiap cobaan, optimis, jangan menyerah dan pasti ada jalan.
 
Bagi Triyono titik tesulit dalam hidupnya adalah melihat keluarganya menderita dan titik bahagianya adalah ketika keluarganya,  anak, istri bahagia dan ketika masakan sotonya sempat dikenal banyak orang serta diminati ketika di Klaten bersama Ibu Sri.

Cita cita Triyono sampai saat ini adalah punya Rumah makan sediri, dan dia kelola sendiri. Meski tidak punya modal tapi ia optimis akan mewujudkan cita citanya

Triyono, Sang Tak Kenal Patah Arah 4.5 5 Unknown Thursday 19 February 2015 Adalah Triyono anak dari pasangan Ciptodiarjo   dan Trimo, Triyono lahir pada tahun 1972 di Klaten, Jawa Tengah.   Kini Triyono mempunyai...


No comments:

Post a Comment

J-Theme