Adalah Triyono anak dari pasangan
Ciptodiarjo dan Trimo, Triyono lahir pada
tahun 1972 di Klaten, Jawa Tengah. Kini Triyono
mempunyai istri bernama Rosdian yang berusia dua tahun lebih muda dari suaminya
serta memiliki dua buah hati setelah enam tahun menikah, anak pertama bernama
Taufik berusia 10 tahun duduk di kelas 4 SD disalah satu SD Bandung sedangkan
anak ke dua bernama Virgiawan berusia lima tahun enam bulan dan duduk dibangku
PAUD.
Pengalaman pertamanya merantau ke
kota kembang pada tahun 1995, ia pun bekerja sebagai sales marketing buku
hingga 1998. Awal karirpun mulai meningkat dengan ia pindah kerja ke Restoran
di Bandung.
Mulai tahun 1998 hingga tahun
2010 ia bekerja di Restoran, ia mulai start kerja sebagai Disc Wash atau yang sering akrab ditelinga kita adalah
pencuci piring. Tidak mudah untuk cepat naik jabatan dibidang masakan sekalipun
ingin menjadi Cheff jika tidak mempunyai sertifikasi yang bergengsi memang
semuanya harus dimulai dari bawah untuk dapat kepercayaan dari owner
Setelah sekian lama menjadi Disc
Wash ahirnya dipercaya menjadi Rice Cook yakni sebagai orang yang ditanggung jawabkan
untuk memasak nasi. Perasaan senang yang Triyono rasakan meski hanya menjadi
Rice Cook. Ahirnya Triyono bekerja dengan disiplin dan baik hingga setelah lama
ahirnya owner pun mempercayakan untuk menjadi Cheker atau penanggung jawab
bahan apa saja yang dibutuhkan atau bahan yang akan dimasak sekaligus sebagai
pengontrol.
Karir Triyono bisa dibilang cemerlang dan melesat meski tak
semelesat meluncurnya roket ke udara, perlahan namun pasti. Tak lama Triyono
berhasil melewati jabatan selanjutnya menjadi Assisten Cook, Cookhelper hingga
menjadi Koki.
Dari
beberapa pengalaman ia bekerja di Restoran menjadikannya kaya akan ilmu dan
menguasai teknik memasak yang baik dan enak. Ahirnya pada tahun 2010 Triyono
memutuskan untuk resign dan memilih pulang kampung untuk membuka
warung makan yang bekerja sama dengan Ibu Sri (50), kontrak kerja pun dibuat
untuk disepakati, yang berbunyi : 30% untuk Triyono dan 70% untuk Ibu Sri dari keuntungan
warung nasi tersebut, karena modal sepenuhnya dari Ibu Sri sedangkan Triyono
sebagai pengelola saja.
Namun uang makan selalu diberikan Ibu Sri setiap minggu
Rp. 300.000,-
Tak disangka oleh Triyono
ternyata hal demikian adalah menjadi pengalaman pertamanya rugi karena ia hanya
dibayar setengah dari perjanjian saja. Ia pun kecewa padahal uang pemasukan
menurutnya selalu untung lebih, Triyono memutuskan untuk keluar setelah enam
bulan bekerja dengan Ibu Sri
Triyono mengaku bekerja selama satu tahun namun ia kecewa karena
perjanjian dirubah ketika warung nasi sudah mulai dikenal orang dengan alasan
menambah tenaga pekerja. Bukan hanya itu cobaan bagi Triyono pun bertubi tubi
hingga ia di fitnah oleh rekan kerja yang baru masuk, rekan kerja Triyono
memfitnah dengan mengatakan bahwa Triyono tidak disiplin dan sering menutup
toko semaunya padahal Triyono baru sekali menutup toko sebelum sore, itupun
karena Triyono sakit.
Owner pun marah dan mengeluarkan
Triyono, meski Triyono sudah menjelaskan bahwa itu hanyalah tuduhan bohong tapi
tetap keputusan Pak Tarman mutlak dijatuhkan kepada Triyono.
Ahirnya setelah Triyono tidak
bekerja selama beberapa bulan, Triyono bertemu dengan teman masa sekolahnya
dahulu, Trimargono (35) lah namanya. Diajaknya Triyono untuk membuat rumah
makan di Kalimantan sejak tahun 2012, seperti biasa perjanjian selalu ia buat. Kali
ini Triyono memberikan dua pilihan, yang pertama Francais maksudnya mengajari
owner memasak dan berbagai resep selama 3 bulan dengan bayaran 40 juta rupiah
atau sebagai pengelola dengan bayaran 7 juta perbulan bersih dari uang makan,
rumah dan rokok.
Tidak banyak neko neko Trimargono menyetujui yang pilihan ke
dua.
Usaha rumah makan pun berjalan
lancar dan ramai pengunjung serta menghasilkan keuntungan yang fantastis, setelah
berjalan tujuh bulan istri Triyono yang bernama Rosdian (40) masuk rumah sakit
disalah satu RSUD Klaten, kala itu Rosdian menderita keguguran dan pendarahan
hebat hingga di Opname.
Hal ini menyebabkan Triyono untuk cuti kerja
selama menemani istri tercinta di Rumah Sakit, sementara gaji Triyono selama
tujuh bulan belum dibayar yang dikalkulasikan sekitar 40 juta rupiah. Selain
Triyono mengalami kesulitan melihat istrinya yang dirawat ditambah lagi biaya
Rumah Sakit dan keuangan tidak ada.
Triyono
bukan tidak berusaha menagih, namun sulit di Klatenpun Triyono tidak ada uang
apalagi untuk berangkat ke Kalimantan yang kala itu ongkosnya ia pandang mahal
sekali lebih baik dipakai untuk biaya hidup sehari hari. Triyono hanya bisa
mengadukan kepada orang tua Trimargono, namun orang tuanya pun tidak mau tanggung jawab.
Triyono sempat merasa bingung
bagaimana menghadapi kebutuhan rumah tangganya, memang kala itu tidak memakai
hitam diatas putih karena pihak kedua tidak mau menggunakan surat perjanjian.
Triyono keliling mencari kerja di
Klaten, “pak ada lowongan kerja? Apa aja pak yang penting saya bekerja” ujar
Triyono kepada setiap toko yang menjajar di Klaten. Ahirnya setelah lama
mencari kerja Triyono mendapatkan kerja di meubel sebagai orang yang mengangkat
barang atau pengantar barang ketika ada pembeli, meski pekerjaannya berat dan
melelahkan Triyono hanya mendapat upah Rp. 300.000,- perbulan, cukup untuk
makan sehari hari.
Setelah dua bulan bekerja di
tempat meubel ahirnya Triyono memutuskan untuk berhenti dan pergi ke Bandung
bersama istrinya untuk bekerja disalah satu konfeksi yang ada di Padjajaran,
gaji yang didapat lebih besar dari kerja di meubel dan lebih ringan meski hanya
Rp.900.000,- perbulanya.
Sempat menangis dan menyesal karena dahulu ia pernah
diatas awan, untuk upah tiga juta sangat mudah ia dapatkan tapi sekarang begitu
sulit sekali karena sekarang ia menjadi pekerja yang benar benar disebut
pekerja atau buruh.
Awal
tahun 2013 Triyono bekerja di pasar BTM sebagai juru masak, meski trauma dengan
profesi masaknya, Triyono tetap mencobanya selama enam bulan dengan upah 1,2
juta, lumayan ada sedikit uang untuk ditabung. Sementara di Bandung Triyono
tinggal bersama mertuanya di Cicadas, bukan hal yang indah tiggal bersama
mertua. Kadang merasa malu dan lebih menahan lapar dari pada makan tapi bukan
hasil sendiri.
Uang yang ia tabung rencananya untuk mengontrak rumah atau hanya
sebuah kamar sebagai tempat istirahat anak istrinya dan sebagi tempat
perlindungan hujan panas.
Awal tahun 2014 Triyono beralih
profesi menjadi pedagang es Pisang Ijo, upahnya pun lumayan sekitar 1,8 juta
perbulan. Selain itu jam kerja yang tidak terlalu lama membuat Triyono memutar
otak untuk mencari kerja tambahan, es Pisang Ijo buka pukul 10.00 sampai 12.00
wib, selebihnya Triyono merubah menjadi tukang sales pupuk yang mengirim dan
memasarkan pupuk ke toko langganannya.
Setelah empat bulan bekerja dua
profesi dalam satu waktu Triyono mengalami kecelakaan ketika mengantar pupuk
yang mengakibatkan tangan kanannya patah. Kejadiannya bermula dari kemacetan,
Triyono tertabrak dari belakang yang mengakibatkan Triyono menabrak motor
depannya. Ahirnya orang yang tertabrak Triyono marah dan Triyono menjelaskan
bahwa dia ditabrak dari belakang.
Namun orang yang dibelakang Triyono tidak
terima dan mengejar Triyono, kejar kejaranpun tak terhindarkan dengan sengaja Triyono ditendang dari motor hingga
tersungkur dan menabrak tiang listrik yang menyebabkan tangan kiri Triyono
patah. Akibatnya Triyono tidak bisa bekerja selama empat bulan. Motor satu
satunya pun ia jual untuk biaya pengobatan.
Menyikapi
hal tersebut sang istri mencoba membuka warung kecil jajanan anak anak, apalagi
untuk bekal menghadapi bulan Ramadhan. Tak disangka rezeki turun dari mana saja
dan dari warung kecil kecilan itulah dapat membantu pemasukan selama suaminya
tidak bekerja. Ketaatan sang istri terhadap suaminya tidak menyurutkan kasih
sayangnya bahkan terfikir untuk meninggalkannya.
Rosdian memang istri yang
baik, kata Triyono sang suami, senang susah istrinya selalu ada disampingnya
dan seolah menjadi penyemangat hidup dan bangkit dari semua masalah.
Sampai tiba saatnya lebaran Idul
Fitri, Triyono di ajak bekerja di toko Agam Tuo milik Yudi (35) sebagai orang
yang membantunya karena kesibukan yang dialami Yudi ketika setelah Lebaran
membuatnya kewalahan karena kebetulan pekerja nya resign kala itu.
Meski tangan
Triyono yang bisa digunakan hanya satu, Yudi tidak mempermasalahkannya yang
penting membantunya sebisa yang ia bantu. Sampai saat ini Triyono bekerja di
Agam Tuo toko bumbu masak dengan upah Rp. 30.000 per hari. Triyono mengucap
syukur masih ada yang mempercayainya untuk bekerja meski dengan keadaan yang
kurang sempurna.
Dan sekarang luka Triyono berangsur membaik dan sudah mulai
bisa digerakan meski belum kuat mengangkat barang berat.
Beliau tidak pernah mengeluh
sedikitpun bahkan terlintas dalam benaknya untuk mengahiri hidupnya, inilah
salah satu golongan manusia unggul.
Di Jepang angka kematian yang
diakibatkan bunuh diri sangat tinggi, hingga pemerintah Jepang memberikan
fasilitas untuk warganya yang ingin bunuh diri. Melihat sosok pak Triyono
seharusnya mereka malu dan hormat terhadap sosok Triyono, ujian setiap manusia
selalu ada solusinya meski lama karena apapun alasannya bunuh diri bukanlah
solusi terbaik bahkan bukan suatu pilihan yang layak untuk menjadi kategori
sebuah pilihan.
Triyono
hanya berpesan bahwa jangan terlalu mudah percaya ketika diajak untuk bisnis
dan selalu gunakan hitam diatas putih meski mereka kerap bilang tidak perlu.
Bukan hanya itu Triyono pun mengatakan bahwa terima saja setiap cobaan,
optimis, jangan menyerah dan pasti ada jalan.
Bagi Triyono titik tesulit dalam
hidupnya adalah melihat keluarganya menderita dan titik bahagianya adalah
ketika keluarganya, anak, istri bahagia
dan ketika masakan sotonya sempat dikenal banyak orang serta diminati ketika di
Klaten bersama Ibu Sri.
Cita cita Triyono sampai saat ini
adalah punya Rumah makan sediri, dan dia kelola sendiri. Meski tidak punya
modal tapi ia optimis akan mewujudkan cita citanya
No comments:
Post a Comment